Mengenai Saya

Welcome my friend ...

The place of sharing knowledge and insight for the progress of us all ...

Selasa, 02 April 2013

@mahkamahkonstitusi. : DJOKO SOEMADIJO, S.H. PENGUJIAN UU NO. 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL TERHADAP UUD 1945 Universitas Berbadan Hukum



PENGUJIAN UU NO. 20 TAHUN 2003 
TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL 
TERHADAP UUD 1945

DJOKO SOEMADIJO, S.H. 
Yang saya muliakan Ketua dan anggota Majelis. Para hadirin yang saya hormati, izinkan saya menyampaikan 
pengalaman-pengalaman saya dalam konteks hal yang dibahas dalam persidangan. Saya secara pribadi mempunyai pengalaman yang unik karena yang dwifungsi ternyata tidak hanya ABRI, saya juga dwifungsi. Saya PNS yang sudah pensiun pada waktu saya menjadi PNS saya mendirikan beberapa perguruan tinggi swasta, jelasnya dwifungsinya di situ. Oleh karena itu pengalaman saya agak unik. Saya ingin menceritakan pengalaman saya ketika saya menjadi Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, dua priode. Pada waktu itu saya sebagai dekan mendirikan program notariat dan karena tidak ada aturan SPP-nya, maka saya menarik SPP berdasarkan insting dekan dan persetujuan rektor, ternyata di protes masyarakat, haknya apa? itu pungli, saya sampaikan kepada Pak Rektor “Pak Rektor ini bagaimana ini?” kemudian turunlah Irjen, BPKP turun, BPK juga turun, kasusnya sepele, uang SPP saya depositokan dan ternyata itu tidak boleh juga, jadi kesulitan saya sebagai Dekan Fakultas Hukum Negeri pada waktu itu, ini fakta, ini bukan pendapat saya Pak. Adalah kedudukan saya sama dengan kepala biro pada seperangkat birokrasi yang saya harus mengikuti ketentuan-ketentuan birokrasi yang sangat rigit, harus izinlah, harus berdasarkan masuk Selat Banten dulu dan sebagainya. Sebelum ada Undang-Undang berbendaharaan negara pada waktu itu, itu kesulitan. Sesudah ada UU Perbendaharaan juga sama saja, ketika saya berhenti tugas saya sebagai Dekan pada tahun 1993, saya lega sudah. Juga pada waktu masih dekan, saya mendapat kesempatan ke Universitas Leiden dalam rangka mengantarkan teman teman yang studi doktor dalam rangka science program saya mengantar ke sana, kemudian di antara saya yang mewakili rektor pada waktu itu dengan Rektor Laiden, siapa kita mengadakan perjanjian kontrak. ”Saya pulang, saya lapor rektor. Kita menjalankan perjanjian dengan Leiden “oh tidak bisa” itu harus pemerintah, karena  universitas itu bukan badan hukum, jadi kesulitannya, baik masalah keuangan, maupun masalah kerja sama dengan luar, itu ternyata rektor universitas negeri pada waktu itu. Apalagi dekannya, itu tidak bisa berbuat banyak. Nah, impian saya pada waktu itu, impian itu data juga ya Pak? Bukan pendapat. Impian saya pada waktu itu alangkah indahnya, alangkah bagusnya tahun 1993 universitas itu mempunyai status sebagai subjek hukum, sehingga peraturan perundangan yang diperlakukan pada universitas tidak se-rigid seperti administrasi perangkat administrasi negara. Surat juga, ketika kerjasama dengan  Balitbangda, yaitu dalam riset, juga begitu. Ini bisa kontrak apa tidak?  Pemda badan hukum, tapi urusan tidak bisa, sulit juga. 
Oke, itulah yang saya alami pada waktu itu ketika saya menjadi Dekan Fakultas Hukum. Oleh karena itu waktu saya mimpikan “wah ini kalau kita bisa mempunyai kewenangan otonom mengelola keuangan, mengelola sumber daya sendiri dan sebagainya. Itu saya kira lebih cepat majunya perguruan tinggi di Indonesia. Juga yang dialami teman-teman. Ada seorang teman rektor kepala sudah sekian belas tahun mau saya usulkan menjadi guru besar, termasuk saya, rektor  kepala sudah 16 tahun waktu itu. Saya tidak mengusulkan diri saya menjadi rektor, menjadi guru besar. Teman saya itu mengatakan pada waktu itu tidak mau menjadi guru besar ya? Pak susah sekali mengurus guru besar kok masih presiden yang teken, pada waktu itu masih presiden Pak. Sekarang sudah menteri, itu agak mending. Jadi sulit sekali untuk guru besar. Oleh karena itu ketika saya berkunjung ke Malaysia, anak-anak muda umur 35 sudah guru besar, guru besar kita itu umur 57 guru besar suruh produktif, umur 58 stroke. Itu fakta itu, saya bisa menunjukkan, kenapa? Birokrasinya, saya itu sering dimarahi oleh Pak Dirjen “Pak Djoko ini terlalu keras ini” kenapa? Ngapain kok
ngurusin pangkat saja kok yang harus presiden sama menteri, serahkan saja universitas yang menentukan rektor, ketawa dan sebagainya. Waktu itu keras sekali. Sekarang otonomi penyelenggaraan SDM, otonomi penelitian, otonomi penyelenggaraan keuangan, baru bisa impian saya pada waktu itu kalau universitas itu menjadi badan hukum. Baik, kemudian biasanya pensiunan PNS apalagi menjabat diincar oleh PTS. Saya dijadikan Rektor Universitas Narotama, Surabaya. Ketika saya mencoba sistem dan prosedur universitas, saya menginginkan berstandar internasional yaitu dengan ISO tahun 1991-2000 dan sudah kami capai, maka satu-satunya perguruan tinggi di wilayah timur standar sistem dan prosedur manajemen. Tetapi ketika ditanya manajemen oleh assesor-nya ketika ditanya keuangannya “loh kok keuangannya masih seperti yayasan?” 
Ya saya sebagai rektor saya tidak bisa apa-apa, lho ini bagaimana sistem, simpul-simpul diatur bagaimana ini? waduh itu sulitnya bukan main mendapatkan ISO pada waktu itu akhirnya beberapa trik bisasaya sampaikan akhirnya lolos juga hanya saja memang agak ada hambatan. Kemudian juga ketika saya rektor dan staf dalam rangka kerjasama dengan luar negeri, saya pergi tidak jauh-jauh karena universitas swasta boro-boro kerjasama dengan luar negeri dengan biaya yang tinggi. Biayai dosen saja setengah mati, dilemanya adalah kata yayasan dijual mahal, tidak laku. Dijual murah ya seperti Saudara ini tidak punya uang. Ketika kami kerjasama dengan college university di Malaysia, di Johor, Kuito saya cari yang dekat-dekat saja. Ditawarkan kerjasama between lector, di sana namanya vice counselor itu juga begitu, kenapa tidak bisa kerjasama saya, saya bukan, saya minta universitas, bukan badan hukum. Ditertawakan itu Bapak Dirjen tadi. 
Bapak Ketua Majelis, ketawa itu, kami tidak bisa teken lho, bagaimana rektor kok tidak bisa teken perjanjian. Sebetulnya bisa, Cuma karena saya tidak mau tanggung jawab kalau ada gugatan apaapa. Oke, jadi saya menghadapi kesulitan juga didalam rangka kerjasama dengan luar negeri. Pernah saya didatangi oleh seorang mahasiswa, ”Pak Djoko itu enak, Pak Djoko, memimpin lembaga yang tidak badan hukum, kalau universitasnya pak joko itu malpractice terhadap saya, mahasiswa pada waktu itu, saya tidak bisa gugat Pak Djoko. Oleh karena itu barangkali, mohon maaf ini, ini pendapat atau bukan saya tidak tahu ini, kalau andai kata PTS, atau perguruan tinggi pada umumnya berbadan hukum, tanggung jawabnya judicial 
responsibility yang legal responsibility dari rektor itu lebih jelas dan lebih tegas daripada kalau sekedar sekarang ini adalah istilahnya Pak Arifin “pengampu” kalau istilah saya adalah kuasa dari yayasan, lebih jelas. saya bilang “silakan kalau mau menggugat yayasan yang badan hukum, wah tidak bisa Pak, kan yang mengerjakan pendidikan Bapak kok, itu yang saya alami betul itu. Kemudian bidang keuangan juga sudah saya ceritakan tadi, hambatannya ketika, kemudian bagaimanakah saya selaku rektor dan yayasan? Ini pengalaman saya, saya ini kembali lagi dwi fungsi. Saya selain Rektor Universitas Narotama, saya juga pengurus Yayasan Untag Surabaya, makanya saya pakai Pin IV Pak. 
Bapak Ketua dan anggota Majelis yang saya muliakan, alangkah sulitnya minta pengesahaan Departemen Hukum dan HAM untuk yayasan menjadi badan hukum itu hampir satu tahun Pak. Yayasan Untag untuk menjadi badan hukum yang semula kan badan hukumnya hukum adat, hukum tidak jelas, sesudah ada UU Nomor 16 baru jelas, dulu kan hukum adat. Yang namanya macam-macamlah cari cantolan dimana-mana, setelah ada cantolan bingung, UU Nomor 16 direvisi tetap bingung. Sekarang sesudah mau mengajukan sebagai badan hukum minta nomor istilahnya di daerah itu Pak, susah bukan main, dikembalikan lagi. Jadi nanti barangkali itu, saya memilih yayasan supaya kalau minta nomor dipercepat. 
Baik, jadi hubungan kami dengan yayasan, sekarang yayasannya masih belum berbadan hukum, saya kembali pada posisi di Untag. Kesulitan saya sebagai pengurus yayasan, yang kebetulan tahu pendidikan dan seumur hidup saya selama bekerja mulai asisten saya sudah menjadi guru SMA, umur 19 saya sudah menjadi guru SMA, menteri dan kemudian menjadi wakil dekan, itu saya sulit memberikan pengertian kepada teman-teman kolega anggota yayasan yang tidak tahu masalah pendidikan, ini penting, ini harus dana ini, wah ini tidak bisa. Itu pada waktu yayasan masih belum ada terstruktur seperti UU Nomor 16. Ada pembina, ada pengurus, ada yayasan. Itu sudah sulit. Saya membayangkan kalau Untag itu dapat izin nomor badan hukum 
selalu ada pembina, ada pengawas, ya itu nanti kata putusnya dimana saya tambah bingung. Oleh karena itu impian tahun 1993 dulu itu saya mau diberikan itu ya alangkah majunya Indonesia kalau perguruan tinggi, universitas itu berbentuk badan hukum.  Hubungan antara yayasan sama rektorat universitas. Pada praktiknya saya yang saya lihat, ini fakta, ada dua model  hubungan antara yayasan dengan universitas. Ini disebabkan oleh karena, mohon maaf ini, salahnya pemerintah, ketika swasta ingin mendirikan, bukan yang sekarang yang dulu Pak. Dulu itu setiap mendirikan perguruan tinggi selalu ditanya badan hukummu apa? Oleh karena itu PP Nomor 60 Tahun 1999 tadi yayasan dipakai sebagai cantolan sebagai badan hukum. Saya tidak mau mundur sejarah, tapi andaikata pada waktu itu kalau mendirikan perguruan tinggi ya sudah 
ya perguruan tinggi itu kemudian diakui sebagai badan hukum barangkali tidak ada kesulitan. Tapi ya sudah itu kan kecelakaan sejarah, masa kita mau menggugat sejarah. Mungkin sudah seperti itu, satu pola sekarang hubungannya hanya berdasarkan PP tadi, tidak jelas hubungannya kongkretnya bagaimana? Badan hukum yayasan, itupun tidak semuanya yayasan berbadan hukum. Yayasan dan rektor.Satu model yayasan very very powerful. Beli stip beli pensil saja harus minta persetujuan ketua umum yayasan, bukan, saya alami Pak. 
Karena saya di yayasan Untag itu begitu ya? Makanya saya namanya sosiolog, biasanya membuat model yang sangat ekstrim Pak, mohon maaf kalau tersinggung, mohon maaf. 
Kedua, model yang kedua, adalah rektor very powerful. Yayasan itu sekedar, you saja orang tua-tua duduk di situ stempel lima tahun sekali, menyetempel aku, aku yang kuasa. Itu yang terjadi dan yang saya alami di dua universitas yang ada saya di situ. Saya sebagai Rektor Universitas Narotama saya agak punya power, karena yayasan mendelegasikan secara penuh tadi kuasa tadi. Nah itu, tapi saya di Untag sebagai yayasan saya powerful, rektor saya cuma nguji, cuma ini saja, beli stip itu harus saya, ya otoriter memang, oleh karena itu saya mengadakan reformasi sekarang ya memang. Jadi itu memang ada Pak terjadi, tidak di tenaga saya, saya tidak menyebut namanya,ini  pengalaman saya. Oleh karena itu ketika saya mempunyai kesempatan duduk sebagai pengurus APTISI mulai BMPTS, BMPTSI sampai APTISI daerah Jawa Timur dan kemudian di pusat dua priode saya menjadi salah satu ketua, maka ide itulah yang saya perjuangkan, saya secara pribadi memperjuangkan agar universitas sebagai badan hukum. Pada waktu itu dicela habis-habisan kita dicela, tetapi itulah keyakinan kita, oleh karena itu jadilah UU Sisdiknas. Yang saya secara pibadi ikut sejak awal bersama-sama Balitbang Dikti Depdiknas, Balitbang Diknas, Pak Musa segala macam itu saya sampai berapa kali dikonsentrasi, saya atas delegasi teman-teman kan? Saya mewakili APTISI pada waktu itu. Poinnya harus masuk, poin yang mana yang masuk. Pergurun tinggi badan hukum sebagai badan hukum, itu harus masuk, itu perjuangan. Dan barangkali Bapak-bapak mengetahui bahwa Rancangan UndangUndang Sisdiknas tidak banyak undang-undang yang berasal dari usul inisiatif DPR. Itu oleh karena desakan kami pada waktu itu sangat kuat, jadi itulah ceritanya saya mengikuti sejak semula, saya bersama-sama Komisi VI pada waktu itu kalau tidak salah Komisi VI berkali-kali mendapat kesempatan berbicara di komisi maupun di fraksi dan saya menyampaikan bahwa calon Pasal 53 itu sangat penting. Bahwa setelah lahir terdapat defect-defect tertentu tapi idenya adalah seperti yang disampaikan oleh Profesor Arifin tadi, Profesor Yohanes tadi, Pak Suryadi tadi secara ide adalah Undang-Undang Sisdiknas yang salah satu dari tidak banyak rancangan undang-undang yang diajukan oleh Komisi VI dan Komisi VI itu konsepnya terus terang saja antara lain dari APTISI dan sebagian besar dari PGRI. Itulah yang bisa saya sampaikan dan izinkan saya mohon maaf juga menyampaikan satu kesimpulan, menurut saya ditaruh di pasal manapun juga terserah menurut undang-undang, perguruan tinggi sebagai badan hukum adalah mutlak diperlukan. 
Terima kasih, wassalammu’alaikum wr. wb

sumber :
page 2, 27-31

Tidak ada komentar:

Posting Komentar