Kebijakan Road Pricing Untuk Mengurangi Kemacetan Lalu Lintas
Oleh: Prasetyo Hatmodjo
Bagi penduduk Jakarta dan sekitarnya, kemacetan lalu lintas adalah problem rutin, yang sudah dianggap sebagai bagian dari dinamika kehidupan sehari-hari. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat sudah putus asa, sudah tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan untuk menyiasati kemacetan lalu lintas yang sangat merepotkan tersebut. Sebenarnya, secara ekonomi maupun finansial, kerugian akibat kemacetan ini sangat besar, namun tidak banyak orang yang menyadarinya,
karena kecuali waktu tempuh yang semakin panjang, bentuk-bentuk kerugian yang lain (seperti pemborosan bahan bakar, peningkatan polusi, peningkatan kecelakaan, kelelahan mental dan fisik, peningkatan gangguan kesehatan, dsb) pada umumnya tidak dirasakan secara langsung.
Sebagai gambaran kasar, besarnya kerugian finansial akibat pemborosan bahan bakar adalah sebagai berikut: data statistik jumlah kendaraan di DKI Jakarta pada tahun 2005 adalah sekitar 7,2 juta unit (Jakarta Dalam Angka, 2006), tidak termasuk kendaraan yang masuk dari wilayah Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi. Dari jumlah tersebut, kalau diambil gampangnya, 4 juta saja yang beroperasi, dengan asumsi setiap unit kendaraan memboroskan 0,5 liter bahan bakar (setara premium) per hari akibat kemacetan, maka total pemborosan adalah sebesar 2 juta liter/hari atau sama dengan 2 juta x Rp. 4.500,- sama dengan Rp. 9 Milyar per hari, atau sekitar Rp. 3,2 Triliun per tahun. Ini baru kerugian langsung akibat pemborosan bahan bakar (dengan harga yang disubsidi), belum termasuk kerugian akibat keausan mesin, rem dan kopling secara sia-sia. Kerugian ini akan bertambah besar apabila kita menghitung penurunan produktivitas (manusia dan kendaraan), peningkatan polusi, peningkatan biaya kesehatan akibat polusi, peningkatan waktu tempuh yang berdampak pada kegagalan ikut tender, penurunan kualitas barang-barang peka waktu (sayur, buah, telor, dsb), kegagalan transaksi, dsb.
Problem penurunan produktivitas paling terasa bagi angkutan umum seperti angkot, bus dan taksi. Misal dalam kondisi
lancar, bus dapat menempuh 6 trip per hari, tetapi karena macet hanya bisa 4 trip, hal ini berarti bahwa produktivitas bus
telah menurun sebesar 30%. Hal yang sama juga dialami oleh taksi, misal pada waktu lancar bisa menempuh 300 km
per hari, tetapi karena macet hanya mampu menempuh 200 km per hari, maka taksi tersebut juga mengalami penurunan
produktivitas sebesar 30%.
Secara teori, kemacetan disebabkan oleh tingkat kebutuhan perjalanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kapasitas
yang tersedia. Berdasarkan teori tersebut, maka solusinya adalah mengurangi jumlah kendaraan yang lewat, atau
meningkatkan kapasitas, baik kapasitas ruas maupun kapasitas persimpangan. Pertanyaannya kemudian, kalau teorinya
begitu mudah, mengapa pelaksanaannya begitu sulit, mengapa sampai saat ini kemacetan lalu lintas tidak bisa diatasi?
Teorinya memang mudah, tetapi persoalan-persoalan yang terkait ternyata sangat banyak, seperti disiplin lalu lintas,
penegakan hukum, sosial ekonomi, tenaga kerja, dsb, sehingga persoalannya menjadi kompleks dan tidak ada satupun
solusi tunggal yang dapat diterapkan untuk mengatasi persoalan kemacetan lalu lintas.
contoh penerapan di Kota Singapura ...
sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar