Parkir Dan Pembatasan Mobil
Oleh: Darmaningtyas
Ketua INSTRAN (LSM Transportasi) dan Kabid Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia
Dimuat di Koran Bisnis Indonesia, 12 Januari 2010
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menjelang tutup tahun 2009 mewacanakan dua kebijakan yang saling kontradiktif, yaitu rencana parkir berlangganan (dan murah lagi) serta pembatasan kendaraan pribadi. Kebijakan parkir berlangganan akan mendorong pemakaian kendaraan bermotor pribadi lebih tinggi; sedangkan pembatasan kendaraan bermotor pribadi dimaksudkan untuk mengurangi volume pemakaian kendaraan bermotor pribadi dari jalanan di Jakarta. Munculnya dua wacana yang bertentangan itu menunjukkan adanya kebingungan kebijakan yang harus diambil oleh Pemprov DKI Jakarta berkaitan dengan banyaknya kendaraan bermotor di Jakarta. Di satu sisi banyaknya kendaraan bermotor di Jakarta itu dianggap sebagai peluang untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), oleh sebab itu perlu diciptakan mekanisme pemungutan pajaknya yang lebih menguntungkan-dengan sistem parkir langganan-tetapi di sisi lain jumlah kendaraan bermotor pribadi yang begitu banyak tersebut dianggap sebagai masalah, sehingga perlu dibatasi.
Perbedaan cara pandang terhadap keberadaan kendaraan pribadi itulah yang menyebabkan munculnya dua wacana kebijakan yang berbeda. Ironisnya adalah wacana kebijakan yang saling bertolak-belakang itu semuanya muncul dari Pemprov DKI Jakarta, sehingga terasa lucu karena secara nyata memperlihatkan ketidak jelasan sikap yang akan diambil oleh Pemprov DKI Jakarta. Kebijakan parkir berlangganan bagi kendaraan yang parkir di badan jalan (on street) di DKI Jakarta ini diwacanakan oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto awal Desember 2009 lalu, tujuannya adalah untuk mencegah kebocoran. Apabila selama ini pendapatan dari parkir on street itu hanya sekitar Rp19 miliar setahun, diharapkan melalui parkir berlangganan itu akan dapat mendongkrak pendapatan menjadi Rp224 miliar setahun dari 400 titik parkir yang ada.
Namun yang mengundang rasa heran adalah tarif parkir langganan yang dinilai terlalu murah yaitu Rp75.000 untuk mobil dan Rp35.000 untuk sepeda motor. Adapun teknis pembayarannya dilakukan bersamaan dengan membayar pajak kendaraan. Apabila dilihat dari argumen yang dipakai sebagai dasar untuk penentuan kebijakan, maka jelas sekali bahwa kebijakan parkir berlangganan memang dimaksudkan untuk meningkatkan sumber pendapatan daerah sehingga mekanisme yang dibangun adalah yang meningkatkan efisiensi dan sekaligus produktif. Betul, secara ekonomis pendapatan Pemprov DKI Jakarta akan meningkat tajam dari parkir on street, tapi di sisi lain akan terjadi peningkatan pemakaian kendaraan bermotor pribadi secara signifikan.
Pembatasan kendaraan
Pembatasan pemakaian kendaraan pribadi merupakan salah satu wacana yang sudah lama dilontarkan. Kebijakan three in one yang diberlakukan sejak tahun 1992 dan mengalami pembaruan waktu pada 2004 adalah salah satu contoh kebijakan pembatasan pemakaian mobil pribadi. Namun yang diwacanakan sekarang bukan sekadar three in one, melainkan melalui mekanisme electronic road pricing (ERP) seperti yang sudah lama diterapkan di Singapura. Sistem ERP dirasakan oleh pemakai mobil pribadi jauh lebih fleksibel dibandingkan dengan sistem three in one. Sebab dalam sistem three in one para pengendara mobil pribadi merasa diburu-buru untuk segera melintas di jalan yang diterapkan sistem tersebut sebelum tiba saatnya jam three in one, kecuali memang satu mobil diisi oleh tiga orang atau lebih.
Perasaan diburu-buru itu dianggap mengganggu kelancaran usaha mereka. Namun dengan sistem ERP, di mana orang dapat lewat kapan asalkan membayar, dirasakan lebih fleksibel. Filosofi ERP atau jenis pembatasan pemakaian kendaraan pribadi lainnya adalah untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, utamanya mobil agar tidak memenuhi jalanan di Jakarta. Hal itu dirasakan penting karena dari sekitar 7 juta kendaraan bermotor yang ada di Jakarta saat ini, 98% sendiri adalah kendaraan pribadi, baik roda dua maupun empat; dan hanya dua persen saja angkutan umumnya. Yang dibatasi bukanlah kepemilikannya, tapi pemakaiannya. Jadi boleh saja orang memiliki mobil pribadi lebih dari satu, tapi penggunaannya dibatasi sehingga tidak semua mobil keluar pada waktu yang bersamaan.
Pembatasan pemakaian kendaraan pribadi itu juga dilaksanakan di kota-kota lain di dunia, tapi mereka membuat kebijakan secara konsisten sehingga pembatasan tersebut berdampak pada pengurangan pemakaian kendaraan pribadi secara signifikan. Selain mereka memperbaiki angkutan umum massalnya terlebih dulu dan membangun jalur khusus sepeda; sehingga masyarakat punya banyak pilihan; kebijakan parkir itu juga terintegrasi dengan konsep pembatasan kendaraan pribadi. Semua kota di dunia menerapkan tarif parkir yang amat mahal, apalagi parkir di badan jalan, sehingga orang merasa sayang kalau parkir berlama-lama di badan jalan, lebih baik naik angkutan umum yang lebih murah. Yang terjadi di Jakarta sebaliknya, tarif parkir dibuat super murah, tapi di sisi lain akan diterapkan kebijakan pembatasan pemakaian kendaraan pribadi. Kedua kebijakan itu tidak akan mengubah keadaan lalu lintas di Jakarta. Sebab, misalnya untuk melewati suatu ruas jalan tertentu harus membayar (apabila diterapkan ERP), tapi pengguna mobil pribadi tetap masih merasa mendapatkan kompensasi atas tarif ERP itu dari tarif parkir yang murah.
Akhirnya, meskipun ada kebijakan pembatasan kendaraan pribadi, minat orang untuk menggunakan kendaraan pribadi tetap masih tinggi karena secara kumulatif biaya operasionalnya tetap tergolong masih murah. Akhirnya yang berjalan hanyalah kebijakan parkir sebagai instrumen untuk meningkatkan PAD saja. Sedangkan parkir sebagai bagian dari instrumen pembatasan pemakaian kendaraan bermotor sama sekali tidak berfungsi. Sebaiknya, sebelum kedua kebijakan itu diputuskan untuk dilaksanakan, Pemprov DKI Jakarta perlu clear betul sikapnya terhadap banyaknya kendaraan bermotor pribadi di Jakarta: mau dibatasi pemakaiannya atau kah akan dijadikan sebagai sumber pendapatan yang tinggi? Sebetulnya menjadikan kebijakan parkir sebagai instrumen pembatasan kendaraan pribadi, bila ditangani secara benar juga akan menghasilkan uang besar, karena tarif parkir menjadi mahal dan beragam tergantung lokasi tempat parkirnya. Hanya saja, Pemprov DKI Jakarta tampaknya memilih cari mudahnya saja, meskipun tidak akan mengubah keadaan apa-apa.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar